Aturan Teoritis Hukum Positif Perkawinan di Indonesia
Perkawinan menurut hukum positif di Indonesia terbagi menjadi dua aturan, yakni: Perkawinan menurut KUHPer dan Perkawinan menurut KHI.
A. Perkawinan menurut KUHPer
Pernikahan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama. Undang-undang memandang perkawinan hanya dari hubungan keperdataan, demikian yang tercantum dalam pasal 26:
“Undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata.”
Dengan demikian, maka perkawinan yang sah hanyalah perkawinan yang memenuhi ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam KUHPer. Aturan KUHPer Pasal 26, lebih menitikberatkan keabsahan pernikahan kedua mempelai hanya dari segi administratif, sama saja administratif pecatatan-nya di KUA dan catatan sipil. Misal, adanya akta perkawinan, suatu pernikahan tidaklah sah bilamana tidak memiliki akta perkawinan, karena kedua-nya tidak memiliki bukti administratif, bahwa dia memang benar-benar telah menikah. Namun, dalam suatu perkara kedua-nya tidak memiliki bukti administratif, maka kebijakan ada di tangan hakim, sebagaimana yang termaktub dalam KUHPer Pasal 101,
“Bila ternyata bahwa daftar-daftar itu tidak pernah ada, atau telah hilang, atau akta perkawinan itu tidak terdapat di dalamnya, maka penilaian tentang cukup tidaknya bukti-bukti tentang adanya perkawinan diserahkan kepada Hakim, asalkan kelihatan jelas adanya hubungan selaku suami isteri.”
Bagaimana hukum positif menyikapi pernikahan beda agama? selengkapnya klik di sini.
Perkawinan merupakan suatu perbuatan yang menimbulkan akibat hukum antara kedua mempelai. Oleh karenanya, diperlukan adanya aturan-aturan dan dan undang-undang untuk mengaturnya, dimulai dari proses awal pernikahan sampai akhir pernikahan (perceraian). Sedangkan akibat hukum dari adanya pernikahan, di antaranya meliputi tentang hak dan kewajiban antara suami dan istri, hak asuh anak (hadlonah), waris, dan lain sebagainya.
B. Perkawinan Menurut KHI
Dasar-dasar perkawinan menurut KHI, tercantum dalam bab 11 Pasal 2, yakni:
“Perkawinan yang miitsaaqan dalam Islam adalah sebuah akad yang sangat kuat (gholiidan) untuk mentaati serta melaksanakan perintah Allah adalah suatu ibadah”
Dalam Islam, suatu perkawinan adalah sebuah ikatan batin dan lahir selama masa hidup keduanya sesuai dengan syari’at Islam serta menghasilkan keturunan. Tidak hanya itu saja, bahkan dalam pasal tiga-nya disebutkan, pernikahan bertujuan untuk membentuk keluarga yang amanah pada amanat Allah SWT serta untuk melestarikan keturunan.
C. Daftar Pustaka
Sriwulan Herwin, Hukum Perkawinan,
cetakan I (Universitas Muhammadiyah Malang: UMMPRES, 2020), hal. 1-19.
Meirina, Mega. (2023). “Hukum Perkawinan
Dala Prespektif Hukum Positif dan Hukum Islam.” Jurnal Hukum Islam dan
Humaniora, 2.