Analisis Hukum Menikahi Wanita Hamil zina

Hukum Menikahi Wanita Hamil zina
Penulis akan menganalisa terkait hukum menikahi wanita yang hamil karena zina berdasarkan perspektif hukum Islam yang penulis ambil dari pendapatnya ulama 4 madzhab dan perspektif KUH Perdata melalui penjelasan di bawah ini

A. Perspektif Ulama Madzhab

Pernikahan merupakan ikatan lahir batin antara kedua pasangan suami istri untuk menjalin hubungan rumah tangga yang bahagia, sebagaimana tujuan pernikahan yang diharapkan oleh syariat [1]. Seseorang boleh melangsungkan pernikahan yang sah secara syariat, mayoritas ulama pun menyepakati akan hal ini. Namun, mereka berbeda pandangan mengenai label hukum lelaki manakah yang dibolehkan untuk menikah wanita yang hamil duluan sebelum nikah?.

Madzhab Hanafi menghukumi boleh untuk menikahi wanita yang hamil duluan sebelum menikah, dengan syarat laki-laki yang hendak menikahinya bukanlah laki-laki yang menghamilinya dan ia tidak diperbolehkan untuk menggauli wanita tersebut, sampai ia melahirkan anak yang dikandungnya [2]. Landasan hukum “boleh” yang dipakai madzhab ini berdasarkan Q.S An-Nisa’: 22-24, dimana teks-teks ayat tersebut tidak menyebutkan, bahwa wanita yang berzina merupakan golongan dari wanita-wanita yang haram dinikahi [3]. Jadi, hukum laki-laki yang menikahinya adalah boleh, dengan terpenuhinya ketentuan di atas.

Madzhab Maliki berpendapat, bahwa hukum menikahi wanita yang hamil karena kecelakaan (zina) adalah tidak boleh, selama bayi yang ada dalam kandungannya belum lahir. [4]. Setelah kandungannya lahir, maka pria yang menghamilinya ataupun pria lain, boleh menikahinya. Menurut madzhab ini, wanita yang hamil duluan sebelum menikah itu mempunyai masa idah, yakni sampai melahirkan bayi yang ada dalam rahimnya [5].

Madzhab Syafii membolehkan seorang pria menikahi wanita hamil di luar pernikahan, sama saja pria yang menghamilinya ataupun yang tidak menghamilinya. Ia diperbolehkan untuk menyetubuhinya dalam kondisi hamil atau tidak hamil. Untuk menyetubuhinya tidak perlu menunggu masa idah nya selesai, karena wanita yang mempunyai masa idah hanya dimiliki oleh perempuan yang menjalin hubungan pernikahan yang sah saja. Hukum kebolehan ini berlandaskan Q.S An-Nisa’: 24 [6] dengan label boleh secara mutlak [7].

Adapun hukum kawin hamil karena zina menurut madzhab Hanbali hampir senada dengan madzhab Maliki, ia menghukumi boleh asalkan wanita tersebut telah melahirkan bayi yang dikandungnya dan mau bertaubat atas perbuatannya yang ia lakukan di masa lalu. Mengenai pria manakah yang diperbolehkan menikahinya, dalam madzhab ini tidak memiliki ketentuan. Artinya, pria manapun boleh menikahinya, baik itu yang menghamilinya atau sebaliknya, asalkan ketentuan di atas telah ia penuhi [8].

Mungkin anda minat

B. Perspektif KUH Perdata

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, ketentuan menikahi wanita hamil di luar nikah adalah sah, asalkan terpenuhinya syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam perundangan ini dan pernikahan tersebut harus berdasarkan agama dan keyakinan masing-masing. Mengenai laki-laki yang menikahinya, boleh pelaku yang menghamilinya sendiri atau dengan orang lain [9].

Hukum menikahi wanita hamil karena zina adalah sah, asalkan memenuhi syarat berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, mulai dari pasal 6 sampai 11 dan 12. Dengan ini, maka hukum menikahi wanita tersebut kebolehannya adalah untuk non-agama Islam. Untuk yang beragama Islam, maka ketentuan hukumnya harus mengikuti aturan perundang-undangan yang termaktub dalam pasal 2 yang inti isinya pernikahan itu hukumnya sah berdasarkan keyakinan masing-masing yang di anut dan agama yang di anut [10].

Syarat-syarat yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 di antaranya: harus cukup umur, dengan kata lain harus mencapai batas minimum umur 21 bagi kedua belah pihak mempelai yang ingin melangsungkan pernikahan; bagi yang belum cukup umur (belum umur 21), ia diperbolehkan melangsungkan pernikahan asalkan berumur 19 dan mengajukan dispensasi nikah di pengadilan Agama [11]; tidak menikah dengan orang yang memiliki garis keturunan dengannya dari arah manapun itu; tidak dalam status menikah dengan orang lain; tidak dalam masa idah; tidak dalam kondisi cerai kedua kalinya, hal ini kondisional, artinya, jika agama dan keyakinan yang di anutnya membolehkan, maka hukumnya menjadi boleh, jika sebaliknya, maka tidak boleh sebagaimana ketentuan awal [12].

Sumber Rujukan

[1] Sumiati Sumiati and Jamaluddin Jamaluddin, “Dampak Sebuah Nikah Bawah Tangan Presfektif Hukum Islam,” Journal on Education 5, no. 3 (2023): 9594–9604, https://doi.org/10.31004/joe.v5i3.1833.

[2] Andi Syamsul Bahri, “Status Pernikahan Wanita Hamil Di Luar Nikah Dalam Perspektif Imam Mazhab, KHI Dan UU No 1 Tahun 1974,” JURNAL AR-RISALAH 2, no. 1 (2022): 55–65.

[3] Galuh Muqoddimatul Khoiriyah, “Kawin Hamil Perspektif Imam Syafi’i Dan Imam Hanafi,” IAIN PONOROGO (2023).

[4] Aludia Salsabila Basuki, Anisya Salsabila, and Rizal Firdaus, “Tradisi Bilas Nikah Karena Kawin Hamil Di Luar Nikah Perspektif Hukum Islam,” Ma’mal: Jurnal Laboratorium Syariah Dan Hukum 3, no. 2 (2022): 144–61, https://doi.org/10.15642/mal.v3i2.116.

[5] Dedi, “Perkawinan Wanita Hamil Karena Zina: Studi Deskriptif Hukum Islam Terhadap Khi Pasal 53 Dan Pendapat Ulama,” Al-Afkar, Journal For Islamic Studies 4, no. 1 (2019): 68–87, https://doi.org/10.31943/afkar_journal.v4i1.60.

[6] Abdul Gafur et al., “Dinamika Hukum Islam Dan Status Sosial ( Isu Keabsahan Anak Hasil Kawin Hamil Dari,” Indonesian Journal of Islamic Jurisprudence, Economic and Legal Theory 2 (2024): 1018–31.

[7] Hidayatun Ulfa, Muh Baehaqi, and Wanita Hamil, “Analisis Penetapan Hukum Keabsahan Menikahi Wanita Hamil Diluar Nikah Dalam Madzab Syafi ’i,” Journal of IIsamic Law 1, no. 1 (2024): 39–48.

[8] Fauzi, “Tinjauan Kawin Hamil Dalam Perspektif Hukum Islam.”

[9] SUMIRAHAYU SULAIMAN, “Perkawinan Wanita Hamil Menurut Peraturan Perundang- Undangan,” JURNAL KOLABORATIF SAINS VOLUME 6, no. 10 (2023): 1330–36, https://doi.org/10.56338/jks.v6i10.4217.

[10] Yoga Andika Pratama, Moh. Muhibbin, and Fitria Dewi Navisa, “Perkawinan Akibat Hamil Di Luar Nikah Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Kuh Perdata,” Dinamika 30, no. 193 (2024): 9282–99.

[11] Ainun S Ipetu, Mutia Cherawaty Thalib, and Zamroni Abdussamad, “Analisis Efektifitas UU Nomor 16 Tahun 2019 Terhadap Pencegahan Pernikahan Usia Dini,” Humaniora Dan Seni (JISHS) 01, no. 2 (2023): 298–203, http://jurnal.minartis.com/index.php/jishs.

[12] Pratama, Muhibbin, and Navisa, “Perkawinan Akibat Hamil Di Luar Nikah Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Kuh Perdata.”
Postingan sebelumnya
No Comment
tambahkan komentar
comment url

Mungkin Anda Minat Membaca ini