Penggunaan Tanah Wakaf Untuk Pemakaman Umum Sebagai Lahan Pertanian

 

Penggunaan Tanah Wakaf Untuk Pemakaman Umum Sebagai Lahan Pertanian, Bagaimana Hukum Islam dan Hukum Positif Menyikapinya?


Lumrahnya masyarakat pedesaan yang tidak bekerja sebagai PNS atau pedagang, mereka memilih jalan profesi sebagai seorang petani. Dengan mengelola tanah sebagai lahan pertanianlah, mereka bisa bertahan hidup. Sama saja tanah yang mereka kelola berupa tanah pribadi, tanah wakaf, tanah hibbah, tanah waris. Masyarakat Indonesia telah mengenal wakaf sejak lama. Dalam hal ini berkat penyebaran para wali dan para ulama dalam menyebarkan agama Islam di Nusantara yang pada akhirnya masyarakat Indonesia mengenal wakaf. Adapun yang melakukan wakaf tidak hanya mereka yang beragama Islam, bahkan yang non-Islam pun juga ikut melaksanakan wakaf. Bagaimana sejarahnya? klik di sini.

A. Kronologi Penggunaan Tanah Wakaf Untuk Pemakaman Umum Sebagai Lahan Pertanian

Awal mulanya ada seorang pemilik tanah di desa Gunung Raja, kecamatan Sungkai Barat, kabupaten Lampung Utara yang ia gunakan untuk tempat pemakaman pribadi khsusus keluarganya saja. Saking luasnya tanah tersebut, selain dipergunakan untuk pemakaman keluarganya, juga ditanami tumbuh-tumbuhan, seperti pohon jati dan pohon sengon. Tidak lama kemudian, banyak warga yang memakamkan mayyit di tanah tersebut, yang pada akhirnya si pemilik tanah mempunyai inisiatif untuk mewakafkan tanahnya sebagai tempat pemakaman umum dan pohon-pohon yang tertanam di tanah tersebut, ditebang dan dijual yang kemudian hasilnya diinfakkan untuk masjid. Tindakan penebangan, penjualan dan penginfakkan laba tersebut dilakukan atas persetujuan masyarakat sekitar. Adapun keadaan wakaf yang dilakukan pemilik tanah tidaklah terdaftar secara administratif.

Nadzir TPU desa Gunung Raja, kecamatan Sungkai Barat, kabupaten Lampung Utara adalah warga setempat yang kebetulan rumahnya dekat dengan tanah yang diwakafkan oleh waqif. Nadzir meminta izin kepada warga, khususnya kepada warga yang rumahnya tepat berada di sekitar TPU, untuk menanam singkong yang kemudian hasil dari penjualan singkong ia infakkan untuk masjid dan sisanya ia gunakan untuk dirinya pribadi sebagai imbalan selama ia mengelola tanah wakaf.

Pemberian izin warga kepada nadzir untuk menanam singkong ini berlangsung selama setahun berikutnya (2014) dan akhirnya dengan kejadian yang dilakukan oleh nazhir, membuat warga tidak mengizinkannya untuk menanam tanaman singkong di TPU lagi, dikarenakan yang nadzir infakkan untuk masjid hanya 5% dari hasil penjualannya. Lambat laun, pada tahun 2016 warga mulai menyadari manfaat dari apa yang dilakukan nazhir yang kemudian nadzir di izinkan kembali untuk menanam tanaman singkong di TPU.

B. Pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif Terhadap Penggunaan Tanah Wakaf Untuk Pemakaman Umum Sebagai Lahan Pertanian

1. Prespektif Hukum Islam

Setelah penulis amati, ternyata prosesi penyerahan atau pelaksanaan wakaf untuk TPU di desa Gunung Raja, kecamatan Sungkai Barat, kabupaten Lampung Utara adalah tidak terdaftar secara administratif di PPAIW (Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf). Dengan ini, mestinya, nadzir juga tidak terdaftar di BWI (Badan Wakaf Indonesia). Namun, hukum Islam (fiqih) menyikapi kejadian kasus tidaklah masalah. Dengan alasan prosesi pelaksanaan ibadah wakafnya telah memenuhi rukun daripada wakaf, yakni dihadirinya wakif (orang yang mewakafkan), mauquf ‘alaih (penerima harta wakaf), adanya shighat (lafadz atau ikrar) wakaf, dan mauquf bih (harta yang diwakafkan).

Adapun hasil dari penanaman tanaman singkong yang hasilnya ia infakkan ke masjid dan sisanya ia ambil untuk dirinya pribadi sebagai upah selama ia mengurus dan mengelola tanah wakaf adalah dibenarkan dalam payung hukum Islam, karena nadzir telah mendapatkan izin dari warga, yang secara tidak langsung, berarti ia mendapati izin dari wakif juga dan upah nadzir tidak disalahkan dalam hukum Islam, walaupun upahnya melebihi standart yang ditentukan oleh wakif.

2. Prespektif Hukum Positif

Dalam hukum positif ditemukan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang wakaf, yakni Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, Pasal 41 ayat 1 dan 2.

Pasal 41 ayat 1:

Dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, Nazhir dilarang melakukan perubahan peruntukan harta benda wakaf kecuali atas dasar izin tertulis dari Badan Wakaf Indonesia.

Pasal 41 ayat 2:

Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan apabila harta benda wakaf ternyata tidak dapat dipergunakan sesuai dengan peruntukan yang dinyatakan dalam ikrar wakaf.

Praktek wakaf yang terjadi di desa Gunung Raja, kecamatan Sungkai Barat, kabupaten Lampung untuk TPU, sebagaiaman pandangan hukum positif, pasal 41 ayat 1 dan 2 adalah menyalahi (melanggar) aturan, karena nazhir tidak terdaftar secara administratif dalam BWI (Badan Wakaf Indonesia). Sedangkan cara nazhir mengelola tanah wakaf TPU telah dilakukan olehnya sesuai dengan shighot wakif saat menyerahkan tanahnya yang dipergunakan untuk TPU. Pengelolaan tanah wakafnya dikelola dengan cara merawat TPU dan menanami tanaman singkong pada tanah wakaf tersebut yang hasilnya ia infakkan ke masjid dan sisanya ia ambil sebagai bentuk upah selama mengelola tanah wakaf tersebut.

Pasal 12:

Nazhir dapat menerima imbalan dari hasil bersih atas pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang besarnya tidak melebihi 10% (sepuluh persen).

Praktek wakaf sebagaimana yang terjadi dalam kasus yang penulis bahas, dengan mangaitkannya pada pasal 12 adalah ditemukannya nazhir yang mengelola tanah wakaf TPU ditanami tanaman singkong. Ternyata kebanyakan hasil panennya ia gunakan sendiri sebagai bentuk upah dirinya selama mengelola dan merawat tanah wakaf TPU. Hanya saja ia menginfakkan sedikit hasilnya ke masjid, karena sebelum menanam tanaman sudah ada kesepakatan untuk menginfakkannya. Berdasarkan pasal 12, tindakan yang dilakukan nazhir adalah salah menurut perundangan (hukum positif), karena upah selama mengelola tanah wakaf TPU melebihi dari 10% (sepuluh persen).

E. Kesimpulan

Tanah Pemakaman di Desa Gunung Raja, Kecamatan Sungkai Barat, Kabupaten Lampung Utara adalah tanah milik salah satu warga yang ia gunakan khusus untuk menguburkan sanak kerabatnya di tanah tersebut. Berhubung banyaknya warga yang menguburkan keluarganya di tanah tersebut, akhirnya ia mewakafkan tanah tersebut untuk TPU. Adapun tanah wakaf yang pemilik tanah wakafkan ternyata belum terdaftar di PPAIW. Salah satu warga yang bersedia menjadi nadzir kebetulan adalah orang yang bertempat tinggal disekitar TPU. Ia mengelola wakaf TPU, dengan menanami tanaman singkong yang hasilnya ia infakkan ke masjid dan sisanya ia gunakan untuk dirinya selama mengurus dan mengelola masjid. Hal ini semua yang dilakukan nazhir adalah atas persetujuan warga sekitar dan tentunya wakif juga menyetujuinya.

Tanah wakaf yang diwakafkan untuk TPU di desa Gunung Raja, kecamatan Sungkai Barat, kabupaten Lampung Utara adalah dibenarkan dalam hukum Islam, karena yang mereka lakukan sesuai degan syarat dan rukun wakaf, sedangkan banyaknya upah yang diambil nazhir selama mengelola tanah wakaf yang melebihi standart umumnya, maka yang semua itu tergantung dari keputusan wakif. Dengan ini, maka banyak sedikitnya upah nazhir tergantung kepada keputusan wakif.

Pengelolaan wakaf yang diperuntukkan TPU di desa Gunung Raja, sebagaimana yang nazhir kelola tidaklah menyalahi peraturan perundang-undangan, yakni Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, Pasal 41 ayat 1 dan 2, karena hal ini menunjukkan keproduktifan nazhir dalam mengelola tanah wakaf. Sedangkan dalam pasal 12, disebutkan, nazhir boleh mengambil upah selama ia mengelola tanah wakaf, asalkan upahnya tidak lebih dari 10% (sepuluh persen).

F. Daftar Pustaka

Subekhi, Abdullah Muhammad dan Mubarak, Zaki. (2021). “Pandangan Ulama Tentang Upah Nazhir Wakaf.” Jurnal Iqtisad, 1.

Arifin, Jaenal dan Ziswaf. (2015). “Problematika Perwakafan di Indonesia (Telaah Historis Sosiologis).” Jurnal Wakaf dan Zakat, 21.

Badan Wakaf Indonesia (2007). Undang-undang No.41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Badan Wakaf Indonesia.

Wati, Heni (2018). “Penggunaan Tanah Wakaf Untuk Pemakaman Umum Sebagai Lahan Pertanian Prespektif Hukum Islam dan Hukum Positif (Studi Kasus di Desa Gunung Raja, Kecamatan Sungkai Barat, Kabupaten Lampung Utara”. Skripsi. Bandar Lampung: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) RADEN INTAN LAMPUNG.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url