Hukum Merokok di Masjid, Makan Dekat Mayyit, Memandikan Mayyit dan Mentalqinnya Oleh K.H Kholil Yasin
Berikut jawaban K.H Kholil Yasin mengenai permasalahan Hukum merokok di masjid, makan dekat mayyit, memandikan mayyit dan mentalqinnya. Jawaban dan pertanyaan yang ada di sini ditulis dengan gaya bahasa penulis sendiri untuk menghindari hak cipta dan memudahkan pembaca dalam memahaminya.
Soal:
Bagaimana hukumnya merokok di masjid?
Jawaban:
Hukum merokok di masjid ada dua:
1. Makruh, hal ini adalah hukum yang paling ringan.
2. Haram, salah satu ulama yang mengharamkan merokok di masjid adalah al-Syekh Isma’il Uzman al-Zain al-Yamani dalam Fatawa Isma’il, karena termasuk istihzaa an wa ihaanatan lilmasjid.
Baca Juga:
Soal:
Bagaimana hukumnya orang yang makan di dekatnya mayyit sebelum dan sesudah di sholati?
Jawaban:
Hukum seseorang yang makan di dekatnya mayyit adalah boleh (tidak papa) dengan syarat adanya satir atau penutup sebagai penghalang antara orang yang makan dengan mayyit. Sebaliknya, jika tidak adanya satir atau pembatas antara orang yang makan dengan mayyit, maka hukumnya tidak boleh. Tujuan adanya satir tersebut adalah untuk membedakan atau memisahkan antara satu majlis (majlis mayyit) dengan majlis lainnya (majlis orang yang makan). Mengapa demikian? Karena, majlis (tempat) mayyit itu diperuntukkan untuk tafakkur dan tadabbur, supaya diri kita semua dapat mengingat-ingat Allah SAW.
Soal:
Jelaskan hukum orang mati yang keluarganya sedang berada di perjalanan jauh, apakah boleh menunggu keluarganya tersebut untuk mensucikan (memandikan) mayyit?
Jawaban:
Hukumnya adalah boleh selagi mayyitnya itu tidak taghoyyur (berubah). Jika sebaliknya (mayyitnya berubah), maka hukumnya adalah haram, karena lihurmatil mayyit.
Baca Juga: Otopsi Jenazah
Soal:
Apa hukumnya berdzikir saat memandikan mayyit?
Jawaban:
1. Hukumnya adalah boleh tapi makruh. Dengan syarat memandikannya tidak di tempat pemandian yang ada WC nya. Hukum ini berlaku bagi orang-orang yang berdzikir dengan lisan (bukan dalam hati) saat memandikan mayyit, karena hal tersebut tidak munasabah (wajar). Dengan ini, sang penceramah (K.H Khollil Yasin) mengatakan untuk di ucapkan (lafadzkan) dalam hati saja.
2. Hukumnya tidak boleh. Ketidak bolehan yang demikian ini jika memandikannya di tempat pemandian yang ada WC nya, karena itu termasuk tempat kotor. Dengan ini, dapat disimpulkan bahwa, hukum berdzikir saat memandikan mayyit di tempat pemandian yang kotor adalah tidak boleh.
Soal:
Bagusan mana ketika mentalqin mayyit di waktu wafatnya, antara menggunakan lafadz Allah atau laa ilaaha illa Allah?
Jawaban:
Bagusan laa ilaaha illa Allah, karena sabda Rasulullah Saw:
لقنوا موتاكم بقول لا اله الا الله
“Talqinilah (tuntunlah) orang-orang yang mendekati kematian dengan ungkapan kalimat laa ilaaha illa Allah”
Ada salahsatu orang bertanya kepada al-Syekh Isma’il Uzman al-Zain al-Yamani dengan ucapan,” Syekh Ismail, kalau dzikir laa ilaaha illa Allah ini kan panjang, kalau smpek putus dipertengahan bagaimana? Kan jadi mati kafir?” Beliau menjawab: Jika ada orang wafat mengucapkan laa ilaaha illa Allah hanya sampai pertengahan (laa ilaa) ternyata putus dan ia mati, maka ia dicatat melafadzkan laa ilaaha illa allah secara kaamilan (sempurna).
Yang dimaksud kalimat terakhir laa ilaaha illa Allah adalah tidak mengucapkan kalimat atau perkataan apapun selain kalimat itu hingga ia mati, walaupun matinya esok hari. Misal, si A sakaratul maut di hari Senin, kemudian ada orang yang mentalqininya dengan kalimat, “laa ilaaha illa allah” dan si mayyit mengikutinya. Namun, karena irodahnya Allah ia mati di hari Selasa-nya dan si mayyit hanya mengucapkan kalimat itu hingga hari nafasnya terakhir.
Jadi, jangan sampai mengajak bicara si mayyit selain kalimat, “laa ilaaha illa Allah” hingga hembusan nafas terakhirnya. Dan bagi yang mengalami sakaratul maut (menghadapi kematian) usahakan di akhir hayatnya hanya mengucapkan kalimat itu saja.
Selengkapnya tentang jawaban K.H Kholil Yasin mengenai pertanyaan di muka, lihat video di bawah ini.