Penjelasan Ruu Perampasan Aset (Mahfud MD)
Dalam pendahuluan ini, penulis tidak mengutip langsung dari penjelasan Prof Mahfud MD, hanya saja mengambil sumber rujukan dari jurnal-jurnal dan penulis tambahkan naskah tentang RUU Perampasan Aset dari sumber terpercaya. Penulis baru mengutip langsung penjelasan Prof Mahfud MD dalam kajian pembahasan lain yang nantinya penulis sebutkan dalam penjelasan di bawah ini. Tentunya dalam proses mengutip tersebut penulis topang dengan referensi lain untuk memperkuat isi dari argument tesebut.
Hukum pidana merupakan bagian dari ilmu hukum yang memiliki fungsi vital dalam tatanan hukum suatu negara. Secara asal-usul kata, istilah "pidana" diambil dari bahasa Latin "poena" yang berarti hukuman. Dengan begitu, hukum pidana bisa dimaknai sebagai seperangkat norma hukum yang mengatur perbuatan yang dilarang dan dikenai sanksi tertentu jika dilakukan oleh seseorang[1].
Secara terminologi, Hukum pidana adalah serangkaian ketentuan hukum yang mengatur perilaku tertentu yang dilarang oleh negara dan menentukan hukuman bagi pelanggarannya. Tujuan dari hukum pidana adalah untuk menjaga ketenangan dan keamanan masyarakat dengan memberikan ancaman hukuman kepada mereka yang melanggar aturan tersebut[2].
Contoh pelaku tindak pidana:
Pembunuhan, pemerkosaan, pencurian, mengemudi tanpa SIM, pelecehan, korupsi[3]
Berita saat ini (tahun 2025) yang sedang marak-maraknya dan sempat viral, salah satunya terkait dengan permasalahan korupsi yang di lakukan oleh pihak pemerintah, bahkan sampai ada unjuk rasa yang ditandai dengan adanya demo. Salah satu aspirasi yang masyarakat sampaikan terkait dengan permasalahan diterbitkannya dan disahkannya RUU Perampasan Aset.
Penuntutan terhadap sejumlah oknum koruptor besar berhasil membawa penyitaan dan pengembalian aset negara yang sempat disalahgunakan. Wakil Ketua KPK periode 2019-2024, Alexander Marwata (2024), melaporkan bahwa sepanjang tahun 2020 hingga 2024, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengelola pemulihan kerugian negara sebesar Rp2.544.426.279.509 (dua triliun lima ratus empat puluh empat miliar empat ratus dua puluh enam juta dua ratus tujuh puluh sembilan ribu lima ratus sembilan rupiah). Jumlah ini mencakup hibah serta aset yang diperuntukkan bagi kepentingan negara (PSP), sesuai data resmi dari KPK[4].
Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset (RUU PA) memiliki peran penting sebagai sarana untuk memperkuat sistem hukum pidana dalam mengatasi tindak korupsi, pencucian uang, dan berbagai kejahatan keuangan lainnya. Mengingat perkembangan kejahatan ekonomi yang semakin kompleks, penerapan perampasan aset sebagai sanksi tambahan dianggap langkah yang efektif untuk memberikan peringatan keras kepada pelaku sekaligus mengembalikan kerugian yang dialami oleh negara dan masyarakat akibat tindakan tersebut[5].
Pelaksanaan konsep perampasan aset menjadi sangat mendesak mengingat kenyataan bahwa dalam banyak kasus, pelaku kejahatan keuangan masih dapat menikmati hasil kejahatan mereka meskipun telah menjalani hukuman penjara. Hal ini terjadi karena hukuman penjara sering kali tidak sebanding dengan keuntungan materi yang diperoleh dari tindakan ilegal tersebut. Contohnya, meskipun seorang pelaku pencucian uang atau penipuan sudah dijatuhi hukuman, aset yang mereka peroleh melalui tindak kejahatan masih bisa digunakan atau bahkan dialihkan kepada pihak lain, sehingga berpotensi menimbulkan kerugian tambahan bagi negara. Tanpa adanya mekanisme perampasan aset yang efektif, penegakan hukum terhadap kejahatan keuangan menjadi kurang maksimal karena pelaku masih dapat mempertahankan kekayaan yang diperoleh secara melawan hukum[6].
Oleh karena itu, perampasan aset yang diatur dalam Rancangan Undang-Undang menjadi sangat penting. Melalui mekanisme ini, negara dapat menyita keuntungan dari tindak pidana agar tidak dapat lagi dinikmati oleh pelaku. Dengan begitu, konsep ini tidak hanya bertujuan memberikan efek jera, tetapi juga berperan dalam mengembalikan kerugian negara. Selain itu, perampasan aset juga menjadi upaya preventif guna mengurangi kemungkinan terjadinya kembali tindak kejahatan serupa di masa depan. Ancaman perampasan terhadap kekayaan hasil kejahatan diharapkan mampu mengurangi niat pelaku untuk melanjutkan atau mengembangkan aktivitas ilegal mereka. Secara keseluruhan, dengan penerapan perampasan aset yang tegas dan transparan, negara dapat meminimalkan kerugian lebih besar sekaligus memperkuat pemberantasan kejahatan keuangan. Regulasi ini juga membuka peluang untuk menutup celah yang sering dimanfaatkan oleh pelaku dalam menyembunyikan hasil kejahatan melalui praktik pencucian uang atau pengalihan aset ke pihak ketiga[7].
Berdasarkan hal tersebut penulis merasa perlu untuk mengkaji-nya lebih lanjut dalam pembahasan berikutnya:
Naskah RUU Perampasan Aset
Rujukan:
[1] Maulidya Winatasya and Citra Dwi Rahayuningsih, “Hukum Pidana: Kajian Literature Review,” Journal of Literature Review 1, no. 1 (2025): 154–60.
[2] Ibid
[3] https://fahum.umsu.ac.id/blog/apa-itu-hukum-pidana-dan-apa-saja-contohnya/
[4] Efrata Sinaga, “Analisis Dampak Kebijakan RUU Perampasan Aset Di Indonesia: Kajian Literatur,” Jurnal Ilmu Sosial, Politik Dan Humaniora 5, no. 1 (2025): 12.
[5] Program Studi et al., “Urgensi Perampasan Aset Dalam Pemberantasan Korupsi : Dalam Perspektif Hukum Pidana Islam,” Jurnal USM Law Review Vol 8, no. 2 (2025): 952–77.
[6] Ibid I
[7] Ibid I