Hadhanah (Hak Asuh Anak)


Hadhanah adalah memelihara atau mengasuh anak yang dirinya masih kecil atau dalam fase belum mumayyiz, mencakup menggendongnya saat ia balita, menyediakan kebutuhannya, menjaganya dari hal-hal yang membahayakan dirinya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya.

Apabila pasangan suami-isteri itu gagal dalam membina rumah tangga yang berujung pada perceraian, sedang mereka masih mempunyai anak yang belum mumayyiz, maka dalam hal ini akan timbul permasalahan tentang orang yang berhak memelihara atau merawat anaknya antara ayah atau ibu.

HUKUM HADHANAH

Hukum hadhanah adalah wajib. Pertimbangan wajibnya hadhanah ini, karena anak yang masih kecil atau dalam fase belum mumayyiz, ia tidak bisa menjaga dirinya dari perkara yang dapat membahayakannya dan belum bisa mencari uang sendiri untuk mempertahankan hidupnya. Adapun haq hadhanah disebutkan ada tiga hal:

a) Hak wanita yang mengasuh

b) Hak anak yang diasuh

c) Hak ayah

KETENTUAN ATAS HAK HADHANAH

Dalam penentuan hak hadhanah yang perlu diperhatikan yang pertama mengenai kesiapan si perawat untuk menyisahkan waktunya merawat anak dan yang kedua terpenuhinya ketentuan-ketentuan (syarat) dalam hadhanah, yaitu:

a) Islam

b) Merdeka

c) Sempurna akal

d) Adil

e) Berupaya memberi pendidikan akhlak dan menjaga kesehatan anak.

f) Bersifat amanah dan akhlak yang luhur.

g) Kemampuan menjaga kebaikan anak dalam bidang pendidikan agama dan akademik

h) Keperluan tempat tinggal

i) Keperluan makan minum dari sumber rezeki yang baik dan halal

Pada dasarnya, cerainya kedua pasangan suami isteri yang memiliki anak masih dalam dalam usia belum mumayyiz, maka syari’at mengatur akan orang yang lebih berhak mengasuh atas anaknya adalah Ibunya anak (isteri). Perawatan anak dalam bidang pendidikan disebutkan dalam nash Al-Qur’an dan Hadits, yaitu Q.S Luqman ayat 12 sampai 19 dan hadits riwayat Riwayat Abu Daud yang berbunyi:

أن امرأة جاءت إلى رسول الله صلّى الله عليه وسلم ، فقالت له: يا رسول الله ، إن ابني هذا كان بطني له وعاءً ، وثديي له سقاء،ًوحِ جري له حواء، وإن أباه طلّقني وأراد أن ينتزعه مني، فقال: «أنت أحق به ما لم تنكحي

Bahawasanya seorang perempuan datang menemui Rasulullah saw, kemudian ia bertanya: “Ya Rasulullah, bahwa anankku ini, perutkulah kandungannya, susukulah minumannya dan ribaanku rumahnya akan tetapi ayahnya menceraikanku dan hendak merampas anak itu dariku”. Setelah mendengar aduan itu Rasulullah saw bersabda,“Engkaulah yang lebih berhak menjaga anak itu selagi engkau belum menikah lagi”.

Setelah membacaa hadits tersebut dapat disimpulkan, bahwasannya yang memiliki hak asuh anak yang paling utama adalah ibu.


Gugurnya hak asuh anak atas ibu ketika ia melakukan hal yang demikian ini:

a) Kawin lagi dengan lelaki yang tidak mempunyai pertalian dengan anak-anak;

b) Pindah domisili untuk mencegah sang ayah membuat pengawasan;

c) Berkelakuan buruk secara berlebihan dan terbuka;

d) Keluar agama (murtad);

e) berlaku kasar atau menganiaya anak-anak tersebut;

Ketika hak asuh anak terhadap ibu gugur, hal yang perlu diperhatikan selanjutnya adalah mengenai permasalahan orang-orang yang memiliki hak asuh anak untuk menggantikan posisi haknya ibu yang telah gugur, berikut urutannya:

a) Nenek dari ibu hingga ke atas;

b) Bapak;

c) Nenek dari bapak hingga ke atas;

d) Kakak atau adik perempuan seibu sebapak (saudara perempuan dari jalur ibu dan ayah);

e) Kakak atau adik perempuan seibu (saudara perempuan dari jalur ibu);

f) Kakak atau adik perempuan sebapak (saudara perempuan dari jalur ayah);

g) Anak perempuan dari kakak atau adik perempuan seibu sebapak (keponakan perempuan dari jalur ibu dan ayah);

h) Anak perempuan dari kakak atau adik perempuan seibu (keponakan perempuan dari jalur ibu);

i) Anak perempuan dari kakak atau adik perempuan sebapak (keponakan perempuan dari jalur ayah);

j) Ibu saudara sebelah ibu (Bibi dari jalur ibu);

k) Ibu saudara sebelah bapak (Bibi dari jalur ayah);

l) Waris lelaki yang boleh menjadi warisnya sebagai ‘asabah;

BERAKHIRNYA MASA HADHANAH DAN KONSEKUENSINYA

Apabila sang-anak telah mencapai fase usia mumayyiz dan dapat memenuhi kebutuhan primer-nya sendiri, seperti makan, minum, memakai pakaian, dan lain sebagainya, maka berakhirlah masa hak asuh anak. Jika kedua orang tua sepakat untuk mengikutkan anak tinggal bersama salah seorang dari kedua orang tua, maka anak tinggal berhak tinggal sebagaiaman yang telah disepakati kedua orangtua. Sebaliknya, apabila terjadi perselisihan di antara keduanya, maka hal yang perlu diperhatikan adalah berikut ini:

Pertama: Apabila anak yang dilahirkan lelaki, maka ulama berbeda pandangan:

a) Menurut madzhab Hanafi, ayahlah yang berhak akan mengasuh anaknya, karena ia membutuhkan pendidikan dan perilaku seorang lelaki. Dengan ini, maka ayahlah yang lebih mampu dan lebih tepat;

b) Menurut Madzhab Maliki, ibu yang lebih berhak mengasuhnya selama sang anak belum balligh;

c) Madzhab Syafi’i dan Hanbali, anaklah yang lebih berhak menentukan ikut kepada siapa saja di antara kedua orangtuanya;

Kedua: Apabila anak yang diasuh perempuan, maka ulama berbeda pendapat:

a) Madzhab Maliki, ibu berhak atas hak asuh anak sampai ia menikah dan telah hubungan intim dengan suaminya;

b) Madzhab Hanafi, hak asuh anak tetap kepada ibunya, namun, sebaliknya hak asuhnya pindah kepada sang ayah, apabila anaknya telah mengalami masa menstruasi (haid);

c) Madzhab Hanbali, hak asuh anak pindah kepada ayahnya, apabila ia telah mencapai usia tujuh tahun;

d) Madzhab Syafi’i, anak diberi hak untuk memilih ikut kepada siapa saja di antara kedua orangtuanya, sebagaimana pada anak lelaki.

HADHANAH DALAM KACA MATA PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

Pemeliharaan anak dalam UU Perkawinan secara global dirangkai dengan akibat putusnya perkawinan, sebagaimana tertera dalam pasal 41. Sedangkan pasal yang secara eksplisit mengatur masalah kewajiban hak asuh anak dan harta, jika terjadi perceraian teradapat pada pasal 105 dan 106.

    Pasal 105

Dalam hal terjadinya perceraian:

a) Hak asuh anak diberikan kepada ibunya, bilamana ia belum mumayyiz atau belum mencapai usia 12 tahun;

b) Pemberian hak asuh atas anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak atas pemeliharaannya;

c) Biaya pemeliharaan ditanggung oleh sang ayah;

    Pasal 106

(1) Orangtua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau di bawah pengampuan dan tidak diperbolehkan memindahkan atau menggadaikan kecuali karena adanya keperluan yang mendesak.

(2) Orangtua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan olehnya, karena kesalahan dan kelalaian dari kewajibannya, sebagaiamana yang disebutkan dalam ayat (1).

KHI menegaskan bahwa dalam masalah hadhanah, kewajiban pengasuhan material dan non-material merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan. Orangtua harus mengemban tugas tersebut secara bersamaan, meskipun pisahnya mereka disebabkan perceraian. Anak yang belum mumayyiz tetap diasuh oleh ibunya, sedangkan tentang hak pemberian nafkah menjadi tanggung jawab ayahnya. Apabila anak telah mumayyiz, maka ia diberi hak pilih untuk ikut ayah atau ibunya untuk mengasuhnya atau merawatnya.


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url