Produk Hukum Peradilan Di Indonesia
Dalam pembahasan ini, penulis sajikan satu produk hukum sesuai dengan jenis peradilannya, juga dilengkapi dengan penjelasannya dari masing-masing produk hukum.
A. Produk Hukum Peradilan Umum
Jenis produk hukum yang penulis ambil yaitu terkait dengan putusan wali kota Bekasi, Nomor 421/Kep.32-Disdik/1/2020 tentang Pedoman Pengelolaan Bantuan Operasional Sekolah Daerah Jenjang SD Negeri dan SMP Negeri di Kota Bekasi Tahun Anggaran 2020.
Dalam produk hukum di atas, wali kota Bekasi memutuskan untuk membuatkan pedoman terkait pengelolaan bantuan operasional sekolah jenjang SD Negeri dan SMP Negeri saja. Dalam memutuskan produk hukum itu, wali kota Bekasi mempertimbangkan a) kondisi sosial ekonomi masyarakat yang semakin sulit untuk memenuhi berbagai kebutuhuan termasuk kebutuhan biaya pendidikan; b) diprogamkannya penyelenggaraan pendidikan berbasis BOSDA (Bantuan Operasional Sekolah Daerah) jenjang SDN dan SMPN melalui anggaran pendapatan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah).
a. Maksud BOSDA
1. Meringankan beban masyarakat terhadap pembiayaan pendidikan dalam rangka wajib belajar 9 tahun yang bermutu;
2. Seluruh anak yang usianya 6-15 tahun dapat mengikuti pendidikan;
3. Mengurangi angka putusnya sekolah disebabkan tidak adanya biaya sekolah;
b. Tujuan BOSDA
1. Upaya pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan perluasan akseptabilitas jenjang SDN dan SMPN;
2. Peningkatan rata-rata lama sekolah;
3. Meningkatkan kualitas pembelajaran dengan tersedianya sarana dan prasarana pembelajaran yang memadai;
4. Meningkatkan angka partisipasi murni SD dan SMP;
c. Prinsip BOSDA
1. Objektif: dengan artian, data yang disetorkan dengan data realitana itu valid dan memenuhi ketentuan umum yang telah ditetapkan;
2. Transparan, artinya pelaksanaan dan penggunaan BOSDA harus diketahui (terbuka) oleh Dinas pendidikan, sekolah, komite sekolah, dan orangtua wali;
3. Akuntabel, dengan artian pengelolaan BOSDA dapat dipertanggungjawabkan secara terinci.
B. Produk Hukum Peradilan Agama
Staatblaad Nomor 152 Tahun 1882 adalah sebuah peraturan yang mengatur tentang peradilan agama Islam di Jawa dan Madura.[1]
Peraturan itu dikeluarkan pada masa penjajahan Belanda, yang menunjukkan bahwa pemerintah Belanda telah mengakui dan menghormati hukum Islam dalam sistem hukum Indonesia. Peraturan tersebut derivisi sebanyak satu kali, diganti dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Dimana hal itu merupakan inisiatif langsung dari DPR dan pemerintah[2].
Dengan diputuskannya peraturan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, DPR dan pihak pemerintah mengadakan duduk bersama di meja hijau untuk memusyawarahkan terkait pembuatan RUU (Rancangan Undang-Undang) tersebut. Musyawarah pertama dimulai pada tanggal 13 Februari 2006. Kemudian mengadakan musyawarah tingkat lanjut pada tanggal 20 Februari 2006 untuk pengambilan keputusan RUU tersebut apakah layak untuk diundangkan atau tidak?. Pada akhirnya, musyawarah itu membuahkan keputusan bulat, yakni keputusan pengesahan dan pengundangan RUU, tepatnya pada tanggal 28 Februari 2006[3].
Adapun inti pengembangan materi hukumnya, yakni terletak pasal 49. Dalam website resminya Pengadilan Agama Kisaran, mencantumkan dalam pasal 49 itu terbagi menjadi 2, menyesuaikan dengan masanya, yakni masa kemerdekaan (Generasi Millenial),[4] yaitu masa saat di adakannya raker pembahasan RUU dan masa saat ini (generasi Z)[5], yaitu masa pengesahan dan penetapan RUU, Isinya adalah sebagai berikut:
1. Masa Raker RUU
Pasal 49 s/d 53 UU No. 7 Tahun 1989: “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam serta wakaf dan sadakah.”
2. Masa Pengesahan dan Penetapan RUU
Berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, Pasal 49: “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari’ah.”
Yang dimaksud dengan “penyelesaian sengkete” di atas, yaitu penyelesaian sengketa dalam bidang ekonomi syari’ah dan perbankan syari’ah. Sedangkan yang dimaksud “antara orang-orang yang beragama Islam” adalah orang-orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama sesuai dengan ketentuan Pasal ini.
C. Produk Hukum Peradilan Militer
Produk hukum yang penulis ambil dalam peradilan Militer adalah menggunakan produk hukum Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2014 Pasal 8. Pada pasal itu menjelaskan tentang jenis pelanggaran hukum disiplin Militer yang terdiri dari huruf (a) dan (b).
1. Huruf (a) berbunyi, “Segala perbuatan yang bertentangan dengan perintah kedinasan, peraturan kedinasan, atau perbuatan yang tidak sesuai dengan Tata Tertib Militer.”
2. Huruf (b) berbunyi, “Perbuatan yang melanggar peraturan perundangundangan pidana yang sedemikian ringan sifatnya.”
Adapun yang dimaksud dengan, “pelanggaran hukum disiplin” dapat dimaknai dengan artian segala perbuatan dan tindakan yang dilakukan oleh prajurit Militer dalam segi, (a) pelanggaran hukum; (b) pelanggaran disiplin Militer; (c) pelanggaran yang bertentangan dengan nilai-nilai kehidupan militer berdasarkan Sapta Marga dan Sumpah Prajurit.[6] Adapun pelanggaran hukum disiplin militer itu terbagi menjadi dua, yakni: pelanggaran disiplin murni dan pelanggaran disiplin tidak murni[7] (campuran)[8].
Pelanggaran disiplin murni adalah tindak pidana yang dilakukan oleh anggota murni TNI berdasarkan aturan yang ada sangkut pautnya dengan militer, yaitu tentang hukum pidana kejahatan, sedangkan pelanggaran disiplin campuran adalah tindak pidana yang perkaranya itu berkaitan berdasarkan koneksitasnya, artinya tindakannya itu dilakukan secara bersamaan antara sipil dan militer yang didasarkan keapada Undang-Undang militer dan KUH Pidana.
Dengan hal ini, dapat penulis simpulkan bahwa apabila ada prajurit TNI melakukan pelanggaran berupa pelanggaran tindak pidana, maka dilihat terlebih dahulu, apakah tindakannya itu melanggar aturan peradilan disiplin murni atau disiplin campuran (tidak murni). Jika ia melakukan pelanggaran peradilan disiplin hukum militer, maka ia dikenakan hukuman sebagaimana yang termaktub dalam pasal 9.
D. Produk Hukum Pidana Peradilan Tata Usaha Negara
Adapun produk hukumnya terdapat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.[9]
Undang-undang ini memberikan penjelasan tentang perubahan-perubahan yang dilakukan dan bagaimana perubahan tersebut akan mempengaruhi penyelenggaraan peradilan tata usaha negara. Penjelasan ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan memastikan bahwa perubahan tersebut dapat diterapkan dengan benar.
Artinya, undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara merupakan upaya untuk menyempurnakan sistem peradilan tata usaha negara di Indonesia, dengan tujuan untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan keadilan dalam penyelenggaraan tata usaha negara.
Baca Juga: Sejarah Peradilan Indonesia
Catatan Kaki:
[1] A L Mikraj et al., “Problematika Penerapan Produk-Produk Pemikiran Hukum Islam Di Indonesia,” Jurnal Studi Islam Dan Humaniora 4, no. 2 (2024): 242–57.
[2] Mikraj et al.
[3] Mikraj et al.
[4] Shanti Ike Wardani et al., “Edukasi Kewirausahaan Dalam Membangkitkan Jiwa Entrepreneur Bagi Generasi Z,” Jurnal Of Global and Multidisciplinary 2, no. 1 (2024): 997–1005.
[5] Wardani et al.
[6] Salmanita Shalsabella Pramudita and Iwan Triadi, “Penerapan Sanksi Atas Pelanggaran Hukum Disiplin Militer Dalam Sistem Peradilan Militer,” Jurnal Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, vol. 1, 2023.
[7] Pramudita and Triadi.
[8] Irwan Triadi Andi Sabila Putri, Rayhan Syahbana Mahendra, Ighna Ikrimah, Rafi Oktario Mahdi, Azizah, “Analisis Yuridis Putusan Pidana Terkait Pembunuhan Oleh Anggota Tni Terhadap Warga Sipil Berdasarkan Perspektif Hukum Militer,” Jurnal Hukum Dan Kewarganegaraan 5, no. 1 (2023): 1–11.
[9] Beni Kurnia Illahi et al., “Optimalisasi Kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara Dalam Penyelesaian Perkara Perbuatan Melawan Hukum Pemerintah ( Onrechtmatige Overheidsdaad ) Optimizing the Competence of State Administrative Courts in the Settlement of Actions Against Law By Governm,” Jurnal Hukum Peratun 6, no. 4 (2023): 35–56.